Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Hitekno.com - Sempat beredar gambar yang mengklaim foto satelit penampakan tak biasa yang menunjukkan tingkat SO2 yang mengkhawatirkan di sekitar kota Wuhan, China. Yang ternyata tidak benar.
Dalam klaim peta satelit disebutkan menangkap penampakan tak biasa yang menunjukkan tingkat SO2 yang mengkhawatirkan di sekitar Wuhan, China yang tengah dilanda virus corona. Yang ternyata tidak benar.
Diklaim tingkat sulfur dioksida yang tinggi di pusat wabah virus corona bukan menjadi tanda kremasi massal. Selain Wuham kota Chongqing yang juga berada di bawah karantina juga menunjukkan adanya tingkat sulfur dioksida.
Kabar ini diwartakan Daily Mail, seorang ilmuwan mengatakan bahwa sulfur dioksida diproduksi ketika tubuh dikremasi dan juga saat limbah medis dibakar.
Baca Juga
-
Bukan Mistis, Ini Penyebab Mobil Masuk Tengah Sawah Tanpa Jejak yang Viral
-
Battle Royale Bakal Hadir ke Call of Duty: Modern Warfare, Ini Bocorannya
-
Sangat Romantis, Ini 6 Kisah Cinta Gamer yang Bikin Iri
-
Dampak Virus Corona, MWC 2020 Resmi Dibatalkan
-
Tingkatkan Kewaspadaan, China Rilis Aplikasi Deteksi Virus Corona
Gambar tersebut diklaim menangkap sulfur dioksida seperti layaknya peta yang terbakar berwarna merah menyala. Yang ternyata prakiraan pola cuaca.
Warna merah menyala yang ada di kota Wuhan tersebut bukan dari mayat yang dibakar di pinggiran kota.
Pemerintah China sendiri memutuskan bahwa tubuh korban yang terkena virus corona harus dikremasi dalam pemakaman sederhana untuk mencegah penyebaran publik yang lebih besar.
Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan bahwa tubuh harus dikremasi segera. Meski belum terferivikasi bahwa adanya pejabat yang menyembunyikan jumlah kematian lebih tinggi dari yang dilaporkan dengan kremasi massal.
Penampakan merah menyala di gambar kota Wuhan ini yang tidak memperlihatkan tingkat sulfur dioksida yang tinggi menunjukkan jumlah besar mayat yang telah dikremasi di kota tersebut. Melainkan prakiraan pola cuaca.
Peta satelit yang berbasis dari Ceko bernama Windy.com yang menunjukkan prakiraan pola cuaca dan perkiraan tingkat sulfur dioksida di Wuhan berdasarkan data histori.
Sebagai perbandingan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa dosis 500 mikrogram tidak boleh dikampaui lebih dari 10 menit.
Menurut peta, level S02 lebih rendah hari ini tetapi Wuhan dan Chongqing mash menonjol di sebagian besar China.
Para Ilmuwan mengatakan bahwa tubuh yanng dikremasi melepaskan SO2 bersama dengan polutan lain termasuk nitrogen oksida.
WHO mengatakan adanya paparan sulfur dioksida yang tinggi atau berkepanjangan dapat menyebabkan risiko serius bagi kesehatan.
Gas tersebut dapat menyebabkan risiko asma, radang paru-paru dan penurunan fungsi paru-paru.
Hingga kini virus corona berasal dari Wuhan telah menyebabkan lebih dari 1.000 orang meninggal dunia dan 4.500 an terjangkit.
Pembaruan Artikel (Update):
Faktanya, gambar warna merah ini bukan dari sulfur dioksida, melainkan perkiraan cuaca dan prediksi berbagai tingkat polutan yang berasal dari partikel, nitrogen dioksida hingga sulfur dioksida.
Seperti diwartakan euronews.com, pihak Windy.com menjelaskan banyak perkiraan kenaikan emisi sulfur dioksida ini berdasarkan data sistem pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA.
Pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA ini biasanya menghitung probabilitas tingkat polusi berdasarkan sumber emisi yang diketahui berasal dari pabrik dan pembangkit listri dan referensi silang dengan variabel meteorologi.
Sebagai tambahan, menurut artikel ini, seorang profesor kimia dari Italia membuat perhitungan mengenai jumlah mayat yang cukup untuk dibakar hingga mencapai tingkat sulfur dioksida besar yang sama dengan di peta satelit tersebut.
Menurut penjelasannya, setidaknya, perlu ada pembakaran 30 juta mayat untuk bisa menghasilkan kadar sulfur dioksida sebesar itu.
Dari sini diketahui kalau gambar kota wuhan merah menyala tersebut bukan foto satelit, dan bukan dari kremasi massal. Melainkan pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA yang memprediksi pola cuaca dan polutan.
Koreksi (Pembaruan per 2 April 2020):
Artikel ini telah dikoreksi dan diperbarui, terutama demi meluruskan fakta-faktanya. Termasuk dengan mengubah/memperbaiki judul & sebagian gambarnya, juga tambahan/penjelesan di bagian isi. Mohon maaf atas kekeliruan sebelumnya dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
Terkini
- Grab Dapatkan Sertifikat Penetapan Program Kepatuhan Persaingan Usaha dari KPPU RI
- Universitas Indonesia dan Yandex Gelar Seminar AI yang Komprehensif
- Kolaborasi Huawei dan Telkomsel, Hadirkan Modem Orbit Star H2 dengan Paket Kuota FantaSix 150 GB
- Yandex, Kominfo, dan ITB Bahas Pengembangan AI yang Aman dan Beretika
- Aplikasi Merchant BCA Resmi Diluncurkan untuk Pelaku Usaha, Apa Kelebihannya?
- CCTV Tak Cukup Jadi Bukti Kejahatan? Cek Tips Sistem Keamanan Terintegrasi dari Nawakara
- Update Software Samsung Galaxy S24 Series, Hadirkan Pengalaman Display Vivid yang Makin Optimal
- Nuon Optimistis Dorong Transformasi Digital Melalui Inovasi di Industri Hiburan
- Google Resmi Ganti Bard Menjadi Gemini, Ini Tujuannya
- Kolaborasi Plan Indonesia dan Microsoft, Luncurkan Program AI TEACH for Indonesia
Berita Terkait
-
Bisa Bikin Bentuk Virus Corona, Keahlian Pedagang Keliling Ini Bikin Takjub
-
Sharp Kenalkan Teknologi Plasmacluster, Diklaim Bisa Bantu Bunuh Virus
-
Pria Ini Nekat Panjat Rumah Sakit Demi Bertemu Ibunya yang Positif Corona
-
Laboratorium Vaksin Virus Corona Diduga Jadi Terget Peretas Rusia, Waduh!
-
CEK FAKTA: Benarkah Abu Vulkanik Merapi Mampu Membunuh Virus Corona?
-
CEK FAKTA: Benarkah Film Captain America Telah Prediksi Virus Corona?
-
Belajar dari Rumah, Foto Gedung Sekolah Tanpa Kegiatan Ini Malah Seram
-
Ngaku Nggak Pakai Masker, Influencer Bali Disorot karena Remehkan Corona
-
CEK FAKTA: Benarkah Campuran Air Garam Dapat Hilangkan Virus Corona?
-
CEK FAKTA: Benarkah Majalah Italia Tahun 1962 Ramalkan Virus Corona?