Jum'at, 29 Maret 2024
Agung Pratnyawan : Rabu, 09 November 2022 | 17:28 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Survei terbaru dari Dell Technologies menunjukkan bahwa setelah dua tahun percepatan transformasi digital, lebih dari setengah (55%) pemimpin TI di Indonesia (APJ: 45%; Global: 50%) menyatakan perusahaan mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk melakukan transformasi tenaga kerja secara digital.

Tapi ternyata setelah perubahan yang sangat cepat tersebut, banyak karyawan kini sulit mengikuti ritme cepat tersebut. Bahkan, lebih dari dua pertiga dari 10,500 responden dari 40+ negara menyatakan perusahaan mereka telah meremehkan strategi berinteraksi yang baik dengan karyawan saat merencanakan program-program transformasi. 

Hasil survei menjabarkan bagaimana transformasi cepat yang terjadi baru-baru ini membuat perusahaan dan tenaga kerja mereka membutuhkan waktu untuk beristirahat, berpikir dan menyempurnakan strategi sebelum memulai atau mengulang proyek.

Meski berbagai upaya dan kemajuan besar telah diraih dalam beberapa tahun terakhir, hasil survei menunjukkan transformasi digital masih berpotensi untuk berhenti karena 85% responden Indonesia (APJ: 72%; Global: 64%) meyakini keengganan karyawan untuk berubah dapat menyebabkan kegagalan.  

Lebih dari setengah responden Indonesia (57%) khawatir mereka akan ketinggalan perkembangan dunia digital karena kurangnya pimpinan yang memiliki otoritas atau visi yang tepat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut, khususnya ketika model as-a-Service menjadi pilihan yang menguntungkan bagi banyak perusahaan (APJ: 62%; Global: 53%).  

"Untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi semua pihak, kita harus menyadari ada keterikatan erat antara kesuksesan perusahaan dan kesejahteraan karyawan. Riset terbaru Dell menunjukkan bahwa transformasi digital yang berkelanjutan terjadi di persimpangan antara teknologi dan manusia. Untuk mencapai terobosan yang efektif, perusahaan perlu mempertimbangkan tiga pendekatan. Pertama, menyediakan pengalaman bekerja yang konsisten dan aman, yang tidak ditentukan oleh tempat karyawan mereka bekerja. Kedua, membantu mendorong produktivitas dengan meningkatkan kemampuan karyawan menggunakan perangkat teknologi yang memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada kemampuan terbaik mereka. Terakhir, menginspirasi karyawan melalui budaya empati dan kepemimpinan yang otentik," ujar Amit Midha, president, Asia Pasifik dan Jepang, dan Global Digital Cities, Dell Technologies. 

"Sebagian besar organisasi di seluruh dunia – termasuk Indonesia – menyadari kebutuhan akan transformasi digital, tapi mereka mendapati transformasi digital bukan hal yang mudah, dan karyawan mereka tidak selalu bisa menerima perubahan. Gesekan antara manusia dan teknologi tersebut diperparah oleh pandemi, dan hasilnya banyak perusahaan yang tangguh secara digital, tapi sebagian besar karyawan mereka kelelahan," kata Hendra Lesmana, country general manager, Indonesia, Dell Technologies.

"Saat ini, perusahaan yang ingin meraih sukses yang berkelanjutan harus benar-benar berpikir bagaimana caranya mereka bisa dengan hati-hati dan terarah membantu karyawan mereka menghadapi perubahan-perubahan yang lebih lanjut." lanjutnya.  

Sekarang saatnya bagi perusahaan untuk berpikir sebelum memulai proyek transformasi digital baru, memastikan dukungan terhadap tenaga kerja mereka, dan memiliki strategi yang jelas untuk tahap implementasi berikutnya.  

Tolak ukur kesiapan perubahan digital 

Dell dan pakar perilaku independen mempelajari seberapa besar ketertarikan responden akan perubahan digital dan mendapati hanya 16% tenaga kerja Indonesia - dari pemimpin bisnis senior hingga pengambil keputusan TI dan staf – tertarik untuk melakukan proyek-proyek modernisasi (APJ: 7%; Global: 10%). Sementara, 24% responden Indonesia lambat atau enggan menerima perubahan (APJ: 46%; Global: 42%). 

Kelompok tenaga kerja global saat ini: 

Dell Technologies - tolak ukur terobosan. (Dell Technologies)

Survei Dell Technologies ini mencoba untuk memetakan jalan ke depan dengan menunjukkan peluang-peluang yang bisa diambil perusahaan untuk fokus dan mengikuti alur transformasi, dengan terobosan yang terjadi di persimpangan antara manusia dan teknologi di tiga bidang: 

1. Konektivitas 

Selama pandemi, banyak perusahaan berhasil terhubung, berkolaborasi, dan melakukan bisnis secara daring (online). Tapi mereka tidak berhenti.  

Sekitar 76% responden Indonesia (APJ: 78%; Global: 72%) mengatakan mereka ingin perusahaan mereka menyediakan perangkat dan infrastruktur yang diperlukan untuk bisa bekerja dari mana saja (work from anywhere), serta kebebasan untuk memilih pola kerja yang mereka inginkan.

Bahkan ternyata pemimpin perusahaan khawatir karyawan mereka akan tertinggal karena tidak memiliki teknologi yang tepat untuk beralih ke model kerja yang sangat terdistribusi (di mana kerja dan komputasi tidak terikat di suatu tempat tertentu, tapi bisa terjadi di mana saja). 

Teknologi saja tidak cukup. Perusahaan juga perlu memastikan alokasi pekerjaan yang adil bagi setiap karyawan yang memiliki kebutuhan, minat, dan tanggung jawab yang berbeda-beda. 72% pekerja Indonesia (APJ: 78; Global: 76%)  ingin perusahaan mereka melakukan salah satu hal berikut: 

  • Definisi yang jelas akan komitmen perusahaan tentang pengaturan kerja yang fleksibel dan cara-cara praktis untuk memastikan hal tersebut bisa terjadi – Indonesia: 42% (APJ: 46%; Global: 40%) 
  • Mempersiapkan pemimpin untuk bisa secara efektif dan adil mengelola tim yang bekerja remote â€“ Indonesia: 36% (APJ: 42%; Global: 42%) 
  • Memberdayakan karyawan untuk memilih pola kerja yang diinginkan dan menyediakan perangkat/infrastruktur yang diperlukan – Indonesia: 45% (APJ: 47%; Global: 44%). 

2. Produktivitas 

Waktu seseorang terbatas dan saat ini sangat minim kandidat yang memenuhi kualifikasi lowongan pekerjaan. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, perusahaan dapat mendelegasikan tugas repetitif ke proses otomatis dan memberi peluang waktu lebih besar bagi karyawan untuk fokus pada pekerjaan yang lebih penting dan memiliki nilai tambah yang lebih besar. 

Saat ini, hanya 21% responden Indonesia (APJ: 32%; Global: 37%) menyatakan pekerjaan mereka tidak repetitif. Dengan peluang untuk mengotomatisasi pekerjaan repetitif, mayoritas responden Indonesia (77%) ingin bisa mempelajari berbagai keterampilan dan teknologi baru yang banyak dicari, seperti keterampilan kepemimpinan, kursus machine learning, atau fokus pada peluang-peluang yang lebih strategis untuk meningkatkan posisi mereka (APJ: 74%; Global; 69%). 

Tapi, perusahaan dengan anggaran terbatas khawatir mereka tidak bisa bersaing dan meningkatkan kemampuan tenaga kerja mereka. 

3. Empati 

Pada intinya, perusahaan perlu membangun sebuah budaya yang dilaksanakan oleh para pemimpin yang berempati, yang menghargai karyawan sebagai sumber kreativitas dan aset terbesar perusahaan.  

Hasil riset menunjukkan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut dan mengedepankan empati dalam pengambilan keputusan, mulai dari menyederhanakan teknologi karena 63% responden Indonesia merasa kewalahan dengan teknologi yang kompleks (APJ: 52%; Global: 49%), hingga merancang program perubahan yang sesuai dengan keterampilan individu - 61% karyawan Indonesia percaya pemimpin mereka telah melakukan hal ini (APJ: 50%; Global: 41%).  

BACA SELANJUTNYA

Bagaimana JumpCloud Meminimalisir Risiko Kejahatan Siber Saat Kerja Hibrid