Sabtu, 27 April 2024
Rendy Adrikni Sadikin : Jum'at, 20 Juli 2018 | 13:37 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Ketika menyebar di negara-negara Asia selama berabad-abad silam, Buddhisme muncul dalam beragam aliran dan ajaran ketika bersinggungan dengan budaya lokal.

Beberapa biksu Buddha mengamati bahwa semua kehidupan adalah suci. Di sekolah, mereka mengajarkan para pengikut untuk bergerak di sekitar kuil dengan sangat hati-hati.

Mereka pun dilarang secara kebetulan menginjak semut atau serangga kecil lainnya. Tapi, sekolah dan pengajaran lain mengadopsi keyakinan dan praktik yang cukup aneh, seperti me-mumi-kan diri untuk mencapai pencerahan tingkat lanjut.

Mumi di sini, bukan tipikal mumi yang kamu ketahui dengan cara membalsemi jenazah seperti yang dilakukan di Mesir kuno.

Mumifikasi diri sendiri dimulai pada abad 11, terutama di prefektur Yamagata, bagian utara, Jepang, dan berlangsung hingga abad 19. Ketika itu, pemerintah Jepang menganggapnya sebagai bentuk bunuh diri.

Kendati begitu, masih ada orang yang melakukan praktik tersebut, bahkan setelah ada keputusan yang menentangnya.

Praktik ini kali pertama diperkenalkan oleh biksu bernama Kukai, pendiri sekolah Buddha Shingon pada awal abad 9.

Nah, dia abad setelah Kukai meninggal, hagiografinya muncul dan mengatakan bahwa Kukai tidak meninggal, melainkan memakamkan dirinya sendiri dalam kondisi meditasi khusus.

Dinukil dari hagiografi Kukai, dalam kemunculannya kembali, yakni jutaan tahun di masa depan, Kukai bakal membantu orang lain naik ke nirwana.

Para biksu Yamagata Shingon hingga kini merupakan di antara mereka yang paling banyak mencoba untuk menjadi 'Buddha hidup' dengan tubuh mereka sendiri.

Biksu-biksu itu memosisikan diri dalam kesederhanaan sebelum bermeditasi di makam mereka sendiri. Di sana, mereka meninggal dan beberapa di antaranya yang menjadi mumi alias Sokushinbutsu.

Sebelum menjadi mumi, mereka melakukan beberapa langkah dan proses untuk menjadikan mereka pribadi yang paripurna.

Di awal proses, para biksu menjalani diet ketat untuk mempersiapkan tubuh mereka menghadapi proses mumifikasi.

Mereka pun menjalani ritual makan khusus yang pertama berlangsung selama 1.000 hari dan diikuti siklus lain dari 1.000 hari. Semuanya dirancang untuk mengeringkan tubuh dan. Yang lebih penting, siklus ini untuk menghilangkan semua bakteri dan belatung ketika tubuh membusuk setelah kematian.

Proses ini bukan bunuh diri. Begitulah pandangan para biksu Buddha tersebut melihat ritual itu, melainkan sebagai jalan menuju pencerahan yang paling tinggi.

Jika mencapai bentuk Sokushinbutsu dan tubuh mereka utuh setelah 1.000 hari kematian, ini tandanya pencarian spiritual mereka sudah menyentuh tahap sempurna.

Persiapan dimulai dengan diet terbatas. Para biksu hanya diizinkan mengonsumsi air, buah, kacang, dan biji yang dikumpulkan di hutan dan gunung. Pilihan makanan mentah seperti itu membantu tubuh kehilangan massa dan otot.

Pada fase persiapan berikutnya, mereka melanjutkan dengan menyantap hal-hal seperti akar dan kulit kayu dari pohon pinus. Teh yang terbuat dari urushi, getah beracun dari pohon pernis, juga dikonsumsi.

Teh terutama membantu membersihkan organ internal tubuh dari setiap parasit, untuk mencegah disintegrasi mayat saat waktu mendekat. Ketika proses persiapan selesai, para biksu menempatkan diri mereka hidup di dalam makam mereka, yang hanya memiliki cukup ruang untuk menempatkan mereka dalam posisi lotus.

Di kuburan, biarawan itu memiliki tabung yang memungkinkan mereka untuk bernapas, ditambah bel yang mereka berbunyi setiap hari untuk memberitahukan kuil mereka masih belum meninggal.

Begitu dering berhenti, diasumsikan biksu tersebut telah mangkat. Orang-orang membuka makam, mengeluarkan tabung udara, dan menyegel situs itu selama 1.000 hari lagi.

Setelah itu, kuburan dibuka kembali dan para biksu diperiksa tanda-tanda pembusukan tubuhnya. Beberapa sumber mengklaim ada sekitar 24 'Buddha' yang bertahan hidup, yang proses mumifikasinya dikonfirmasi sukses.

Yang lain mengatakan ada banyak lagi tetapi mereka hilang dalam labirin waktu. Jika ditemukan di dalam makam, mumi itu akan dipakaikan jubah mewah, dan ditampilkan di kuil untuk ibadah.

Sisa dari para biksu yang jasadnya telah hancur diberi penghormatan yang lebih sederhana; mereka dibiarkan terkubur namun masih dipuji karena ketahanan, ketangguhan, dan upaya mereka.

Hanya beberapa dari mumi biksu yang bisa dilihat di sejumlah kuil sepanjang Jepang. Dan, salah satu biksu mumi yang paling dipuja merupakan Shinnyokai-Shonin. Dia hidup dari 1687 hingga 1783.

Shinnyokai menjadi mumi Sokushinbutsu ketika berusia 96 tahun dan disinyalir setelah 42 hari menjalani pantangan. Dia 'beristirahat' dalam posisi lotus dan terletak di kuil terpisah di Kuil Dainichi-Boo.

Diketahui, Shinnyokai mengenakan pakaian yang dihias dan secara teratur diubah selama ritual khusus. Pakaian lamanya digunakan untuk menghasilkan jimat dan kemudian dijual ke pengunjung yang datang ke kuil.

Mumi Shinnyokai-Shonin/Thevintagenews.com

Orang terakhir menjadikan dirinya Sokushinbutsu setelah pemerintah melarang bentuk perlakuan sendiri yang brutal ini pada tahun-tahun terakhir abad 19. Dia adalah biksu bernama Bukkai yang meninggal pada 1903. Dia mengalami pencerahan, meski dinilai orang gila di zamannya.

Jenazahnya tetap tak tersentuh sampai awal 1960-an, ketika para peneliti universitas akhirnya mulai memeriksanya, hanya untuk menemukan sosok itu berada dalam kondisi yang terawat dengan sangat baik.

Sokushinbutsu memang tinggal nama. Tapi hal tersebut tak pernah menyurutkan antusiasme orang-orang, terutama para turis. Mereka datang berduyun-duyun ke kuil untuk melihat Sokushinbutsu.

Ritual Sokushinbutsu ini ternyata bukan cuma ada di Jepang, tapi juga di China dan India.

Mumi biksu di China/Thevintagenews.com

 

BACA SELANJUTNYA

Komit ke Komunitas WordPress, Niagahoster Hadir di WordCamp Asia 2023