Jum'at, 29 Maret 2024
Agung Pratnyawan | Rezza Dwi Rachmanta : Senin, 18 November 2019 | 20:15 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Semakin berkembangnya kebutuhan manusia menuntut mereka juga menggunakan alat serba canggih seperti smartphone, mobil listrik, hingga komputer. Jarang ada yang tahu, di ujung laut dalam tepatnya di dasar samudra, terdapat wilayah yang dipenuhi logam langka bernilai hingga 16 triliun dolar AS atau Rp 225 ribu triliun.

Warga sipil memang jarang ada yang tahu, namun wilayah tersebut sudah menjadi incaran penambang internasional dan beberapa tempat di antaranya dilindungi dengan kendaraan militer.

Banyak penambang internasional mulai mengembangkan teknologi untuk menggali lebih dalam di wilayah itu.

Jika dilihat sekilas, batuan yang berisi logam langka bernilai tinggi tersebut hanya seukuran kentang.

Namun batuan-batuan itu hanya tersebar di dasar samudra sehingga diperlukan berbagai robot dan alat penambang modern untuk meraihnya.

Ilustrasi Samudra Pasifik. (Pixabay/ Michelle Maria)

Berkembangnya industri modern membuat beberapa logam langka seperti nikel, kobalt, dan mineral lainnya (dikenal dengan rare earth atau tanah jarang) mempunyai nilai yang super tinggi.

Para ahli menyebutnya dengan nodul, dan mereka tersebar di dasar Samudra Pasifik.

Logam-logam atau tanah jarang sangat penting bagi industri modern karena mereka merupakan penyusun utama smartphone, baterai mobil listrik, hingga super komputer.

Terdapat 19 negara yang sudah "menyelam ke kedalaman" untuk mengeksplorasi rare earth atau tanah jarang, dengan China dan Rusia menjadi yang terdepan.

Pada suatu tempat di dasar samudra, terdapat triliunan nodul atau batuan "kentang" tanah jarang yang menunggu untuk diambil.

Perbandingan produksi rare earth atau tanah jarang antara Amerika Serikat dan China. (Wikipedia/ USGS)

Wilayah laut dalam yang dikenal dengan nama Clarion Clipperton Zone (CCZ) atau Zona Clarion Clipperton menyimpan triliunan nodul bernilai tinggi.

Dilansir dari CBS News, para ahli memperkirakan bahwa CCZ yang terbentang sebesar 2 juta kilometer persegi pada Samudra Pasifik antara Hawaii hingga Meksiko mempunyai nilai hingga lebih dari 16 triliun dolar AS atau Rp 225 ribu triliun.

Sejauh ini 19 negara mempunyai lisensi di CCZ, dengan China, Rusia, dan Jepang menjadi terdepan karena sudah memiliki teknologi canggih untuk mengeksplorasinya.

Beberapa negara yang sudah masuk CCZ dan berkonsentrasi mengambil nodul juga termasuk Perancis, Jerman, Korea, hingga Kuba dan Tonga.

Cukup menarik, dari 19 negara hanya Amerika Serikat yang merupakan negara maju tidak masuk dalam daftar.

Hukum Laut AS mencakup penambangan laut dalam, dan pada tahun 1994, Presiden Bill Clinton menandatangani perjanjian tersebut.

Hukum tersebut membuat AS tidak bisa masuk untuk ikut mengeksplorasinya.

Namun karena kebutuhan akan tanah jarang semakin mendesak dan mereka tidak ingin terlalu tergantung dengan China, maka 22 senator telah disiapkan untuk menentang perjanjian tersebut.

Sebagian ilmuwan khawatir bahwa penambangan laut dalam akan menghancurkan dasar laut, sebuah dunia yang tidak sepenuhnya kita pahami.

Dr Craig Smith, seorang ilmuwan ahli kelautan di Universitas Hawaii menjelaskan bahwa ratusan hingga ribuan spesies laut dalam akan terganggu bahkan habitatnya akan hancur jika penambangan di dasar samudra terus dilakukan.

Meski ditentang ilmuwan, logam langka yang bernilai ratusan ribu triliun rupiah sepertinya menjadi fokus utama para penambang untuk memperebutkannya di dasar samudra.

BACA SELANJUTNYA

Siapa Ibnu Al Haitam? Ternyata Kontribusinya di Bidang Optik Bikin Tercengang