Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.
Hitekno.com - Pakar paleontologi asal Swedish Museum of Natural History, Thomas Mors berhasil mengungkapkan fakta baru ketika menliti fosil kecil berusia 40 juta tahun yang digali di Seymour Island, dekat ujung semenanjung Antartika.
Betapa terkejutnya Mors ketika mengetahui, fosil kecil yang ia teliti rupanya bagian panggul dan kepala seekor katak dari spesies Katak Bertopi atau Helmeted Frog. Jenis katak ini masih berhubungan dengan katak sejenis yang berasal dari Chile. Panjang tubuhnya sendiri sekitar 4 cm.
"Ini adalah penemuan yang sama sekali tidak terduga di bawah mikroskop. Saya langsung menyadari bahwa saya telah menemukan katak pertama Antartika," sebut Mors seperti dikutip laman Reuters, Rabu (29/4/2020).
Fosil katak tersebut kini menjadi amfibi pertama yang ditemukan di Antartika yang masih ada keturunannya di zaman modern. Selain itu, fosil tersebut juga mengungkap kondisi mengejutkan masa silam.
Baca Juga
-
Popular Google Doodle Games Hari Ini Terinspirasi dari Oskar Fischinger
-
Bisa Terbang Lebih Lama, DJI Umumkan Drone Mavic Air 2
-
Kocak, Begini Jika Pocong Jefri di Sinetron Lawas Jadi Meme Peradaban
-
Berkurang 5 KM, Gletser Antartika Ini Tenggelam ke Ngarai Terdalam di Dunia
-
Ajaib, Ilmuwan Temukan Bekas Hutan Hujan Kuno di Antartika
Karena habitat katak biasanya berada di hutan hujan tropis, maka disimpulkan bahwa 6 juta tahun sebelum jadi benua es, Antartika merupakan hutan dan sungai yang dipenuhi kehidupan satwa.
"Hal ini memberitahu kita bahwa seluruh ekosistem bisa lenyap oleh perubahan iklim global dan mungkin itu berlangsung cepat," lanjut Mors.
Sebelum membeku jadi benua es, Mors memperkirakan bahwa iklim di Antartika serupa dengan hutan hujan di Chile, amat basah karena temperatur pada bulan terhangat rata-rata 14 derajat Celcius. Namun saat katak tersebut masih eksis dan memakan serangga, lapisan es mulai terbentuk.
"Karena ada bukti gletser sudah ada 40 juta tahun lalu, menarik bahwa iklimnya ternyata masih cocok untuk vertebrata darat berdarah dingin ini," pungkasnya.(Suara.com/Tivan Rahmat)
Terkini
- Mitigasi Penyebaran Abu Vulkanik, Yandex Manfaatkan Model Jaringan Neural
- Canggih, Begini Inovasi Teknologi Terkini pada Honda CBR 150
- Kolaborasi Pertamina dan UGM untuk Energi Hijau dan Peningkatan Serapan Karbon
- Pakar Mulai Percayakan Peracikan Formula Obat ke AI, Kini Masuk Tahap Uji Klinis
- Ilmuwan Temukan Objek Terpanas di Alam Semesta, Bukan Matahari apalagi Planet
- Asteroid Seukuran Gedung Tiga Lantai Sempat Dekati Bumi namun Tak Usung Bahaya
- Kabar Duka, Penemu Baterai Lithium Ion Meninggal Dunia
- Pengidap Diabetes Meningkat Pesat, Kelak Berpotensi Jangkit 1,3 Miliar Jiwa
- Rusia akan Lakukan Uji Coba Drone Selam yang Bisa Bawa Nuklir
- 3 Mitos Mengonsumsi Daging Kambing, Benarkah Bikin Darah Tinggi?
Berita Terkait
-
Kadar Oksigen Menurun, Makhluk Laut Dalam Mulai Tercekik
-
Mencairnya Es di Antartika Bakal Bawa Dampak Buruk ke Laut, Ini Sebabnya
-
Binatang di Seluruh Dunia Terpapar Senyawa Bahan Teflon, Kecuali di Antartika
-
Ilmuwan Temukan DNA Organisme Laut Tertua di Dunia, Penelitian di Kutub Selatan Jadi Kunci
-
Ditemukan Batuan Bulan di Antartika, Ungkap Beberapa Fakta Baru
-
Ilmuwan untuk Pertama Kalinya Temukan Mikroplastik di Salju Antartika
-
Ditemukan Bangkai Kapal Penjelajah di Antartika setelah 107 Tahun Hilang
-
Ilmuwan Temukan Misteri Kehidupan di Bawah Antartika, Apa Itu?
-
Apakah Gerhana Matahari Total 4 Desember Bisa Dilihat dari Indonesia?
-
Lubang Ozon Kutub Selatan Lebih Besar dari Antartika