Rabu, 24 April 2024
Agung Pratnyawan : Sabtu, 28 Desember 2019 | 16:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Fenomena selebgram anak sudah bermunculan, termasuk di Indonesia beberapa tahun ini. Tingkah lucu anak yang menggemaskan dianggap sebagai penjaring pundi-pundi rupiah.

Dengan banyaknya netizen yang tertarik pada aksi lucu selebgram anak, makin deras pula rupiah yang mengalir sejak usia dini.

Lantas, bagaimana pandangan ahli mengenai kaitan selebgram anak dengan eksploitasi?

Menurut Psikolog Denrich Suryadi, pada dasarnya anak tidak memahami konsekuensi mengenai dunia media sosial, terlebih pada usia dini.

"Anak mungkin awalnya memiliki kegemaran untuk tampil, punya rasa percaya diri sehingga berani untuk tampil," ungkap Denrich dari siaran rilis yang diterima Suara.com dari Teman Bumil.

Denrich menambahkan, membagikan aktivitas anak atau hal-hal lain seputar anak di media sosial sah-sah saja. Namun, orangtua perlu memperhatikan dampak negatif publisitas yang bisa berisiko pada anak nantinya.

"Anak yang masih berusia dini (0-10 tahun) tidak seharusnya memiliki akun media sosial sendiri karena anak belum memahami konsekuensinya," jelasnya.

Ilustrasi anak kecil. (Pixabay)

Seluruh risiko tersebut sepenuhnya harus ditanggung orangtua yang mengelola akun media sosial anak.

Lalu apakah menjadikan anak sebagai selebgram bisa dikatakan sebagai eksploitasi? Menurut Psikolog Anak Theresia Michelle A., M.Psi, menjadikan anak sebagai selebgram tidak bisa langsung dinilai sebagai eksploitasi, perlu dilihat kasus per kasus, dan membutuhkan telaah yang lebih jauh.

"Jika orangtua yang seharusnya memberikan perlindungan bagi anak, ternyata menunjukkan sikap memaksa agar anak melakukan aktivitas yang berhubungan dengan selebgram dan memanfaatkan keuntungan anak, maka bisa berpotensi sebagai eksploitasi," jelas Michelle.

Lebih jauh, Komisioner Bidang Trafficking dan Eksploitasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, M.Si mengungkapkan, penjelasan mengenai eksploitasi pada anak bisa dilihat dari berbagai aturan perundang-undangan, seperti UU Perlindungan Anak, UU Ketenagakerjaan, dan Konvensi ILO.

"Dalam konteks anak-anak sebagai selebgram dan kaitannya dengan meng-endorse produk, hal ini diatur dalam Kepmenakertrans RI No. 115 Tahun 2004 tentang perlindungan bagi anak yang bekerja untuk mengembangkan bakat dan minat," ungkap Ai.

Ai menambahkan, kalau menghasilkan uang dengan cara-cara yang melanggar perlindungan anak, bahkan orangtua hingga memaksa anak, anak merasa tidak nyaman, muncul keterpaksaan, dan tidak ada kesukarelaan dari anak, maka jelas orangtua telah melakukan pelanggaran dan bisa berpotensi sebagai eksploitasi.

"Prinsip pelanggaran hak anak dan eksploitasi memang erat kaitannya. Namun, selebgram anak tidak dapat serta-merta dikatakan sebagai eksploitasi, butuh verifikasi data-data faktual atau alat bukti pendukung. Kalau ada unsur yang berpotensi mendekatkan anak pada eksploitasi, seperti keterpaksaan, pengekangan, apalagi pelanggaran hak anak, maka silakan melakukan pengaduan ke KPAI," jelas Ai.

Ilustrasi eksploitasi. [Shutterstock]

Jika memang ada ruang yang mendekatkan anak dengan eksploitasi, Ai mengungkapkan bahwa KPAI sudah bekerja sama dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kekominfo) untuk mendeteksi dan menelaah lebih jauh hal tersebut.

KPAI juga akan memberikan perlindungan bagi selebgram anak jika memang ada indikasi atau unsur yang berpotensi terhadap eksploitasi.

Cerita berbeda jika anak merasa nyaman tampil sebagai selebgram atau merasa tidak terpaksa dan terkekang untuk melakukan endorsement, serta orang tua pun memperhatikan kebutuhan, hak-hak dasar, dan perlindungan anak, maka tidak bisa dikatakan bahwa menjadikan anak sebagai selebgram adalah bentuk eksploitasi.

Itulah tanggapan para pakar pada fenomena selebgram anak yang sedang ramai. (Suara.com/ Risna Halidi).

BACA SELANJUTNYA

Lima Pose Cantik Tia Septiana, Anak Mandra yang Bikin Netizen Kesengsem