Hitekno.com - Rencana pemerintah memberlakukan registrasi kartu SIM berbasis teknologi biometrik pengenalan wajah kembali memicu perdebatan di ruang publik.
Kebijakan yang digadang-gadang sebagai upaya menekan kejahatan siber ini justru menuai kekhawatiran luas terkait keamanan data pribadi masyarakat.
Di satu sisi, pemerintah memandang penggunaan biometrik sebagai langkah strategis untuk melindungi warga dari maraknya penipuan digital.
Namun di sisi lain, sejumlah kalangan mempertanyakan kesiapan regulasi dan sistem pengamanan data sebelum kebijakan tersebut diterapkan secara menyeluruh.
Praktisi hukum David M. L. Tobing menilai perlindungan data pribadi harus menjadi fondasi utama sebelum registrasi biometrik diberlakukan secara luas.
“Indonesia punya catatan panjang soal kebocoran data di berbagai platform digital,” ujar David dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, seiring meningkatnya jumlah pengguna internet dan layanan seluler, potensi kejahatan digital juga ikut melonjak.
“Biometrik memang dibutuhkan, tetapi kesiapan regulasi dan sistem harus benar-benar matang,” tegasnya.
Kekhawatiran serupa juga ramai disuarakan warganet di media sosial X. Sejumlah pengguna menyoroti pengalaman buruk kebocoran data pribadi, termasuk saat proses registrasi menggunakan KTP elektronik (e-KTP).
“E-KTP aja masih sering bocor datanya, apalagi pakai verifikasi wajah. Teman di Bandung dulu petugas bank, tiap minggu ke disdukcapil buat ngurus nasabah. Bayangin satu NIK bisa ada dua nama, bahkan satu orang punya dua NIK. Ini bocornya dari mana coba,” tulis seorang warganet.
Warganet lainnya mempertanyakan tujuan kebijakan tersebut, apakah benar untuk melindungi masyarakat atau justru sekadar memperluas pengumpulan data.
“Pemerintah ini melindungi warga atau cuma mengumpulkan data? Data NIK/KTP saja sering bocor dan dijual di dark web. Kalau biometrik wajah yang bocor, emangnya kita bisa ganti muka kayak ganti password?” sindir pengguna lainnya.
Selain itu, muncul pula pertanyaan terkait implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) Nomor 27 Tahun 2022.
Dalam regulasi tersebut, data biometrik seperti wajah dikategorikan sebagai data pribadi yang bersifat spesifik.
Namun hingga kini, aturan turunan yang mengatur panduan etis penggunaan data biometrik di ruang publik dinilai belum tersedia secara jelas.
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan bahwa kebijakan ini merupakan upaya memutus rantai kejahatan digital yang selama ini menjadikan nomor seluler sebagai pintu masuk utama.
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah, menyebut hampir seluruh modus kejahatan siber—mulai dari scam call, spoofing, smishing, hingga social engineering—mengandalkan nomor seluler.
“Nomor seluler masih menjadi gerbang utama berbagai tindak kejahatan digital,” ujarnya.
Data Komdigi mencatat, hingga September 2025 jumlah pelanggan seluler tervalidasi telah mencapai 332 juta nomor.
Namun di saat yang sama, Indonesia Anti Scam Center (IASC) melaporkan 383.626 rekening terindikasi sebagai rekening penipuan, dengan total kerugian masyarakat mencapai Rp4,8 triliun.
Menurut Edwin, kondisi tersebut menjadi alasan pemerintah mempercepat penerapan registrasi SIM berbasis biometrik wajah.
Pada tahap awal, kebijakan ini akan diterapkan secara sukarela dan hybrid hingga akhir Juni 2026.
Selanjutnya, mulai 1 Juli 2026, seluruh registrasi pelanggan baru direncanakan menggunakan face recognition secara penuh.
Berita Terkait
Berita Terkini
-
Registrasi SIM Berbasis Face Recognition Dinilai Berisiko, Pakar Ingatkan Ancaman Privasi dan Penyalahgunaan Data
-
5 Fakta BONDS, Perangkat Pemanas Tembakau dengan Inovasi Teknologi Baru
-
Keamanan Registrasi SIM dengan Face Recognition Masih Dipertanyakan Jelang 2026
-
Registrasi SIM Card Pakai Face Recognition Mulai 2026, Pakar Ingatkan Ancaman Kebocoran Data
-
Pengamat Ingatkan Risiko Face Recognition untuk Registrasi SIM, Operator Diminta Tak Simpan Data Wajah