Jum'at, 29 Maret 2024
Agung Pratnyawan : Jum'at, 13 Juli 2018 | 10:43 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Pada 21 Juni 2018, media Business Insider Belanda menerbitkan daftar The 39 Powerfull Female Engineers of 2018. Salah satu nama yang masuk dalam daftar tersebut adalah Wiratni, dosen UGM.

Dalam artikelnya, Business Insider tersebut menyoroti peran insinyur perempuan yang pantas menjadi panutan karena jasanya dalam mengembangkan teknologi yang berdampak besar terhadap masyarakat dunia.

Adalah Wiratni Budhijanto ST., MT., Ph.D salah seorang dosen perempuan yang mengajar di Teknik Kima Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta masuk dalam daftar ini. 

Dosen yang telah mengajar di departemen Teknik Kimia UGM sejak tahun 1996 ini mengaku kaget mendengar dirinya masuk dalam daftar ini.

Ia tidak menyangka namanya bisa disandingkan dengan perempuan-perempuan besar lain dari seluruh dunia.

“Saya tidak pernah dihubungi oleh pihak media tersebut. Saya baru tahu malah dari dosen sejawat yang menggoda,” ungkapnya.

Wiratni menduga pencantuman namanya tersebut ada kaitannya salah satu penelitiannya yang didanai USAID. Penelitian yang dimaksud adalah proyek pembuatan teknologi penyaringan air limbah menjadi air siap pakai kembali.

Metode Wiratni adalah dengan mempercepat pertumbuhan bakteri anaerob sebagai mikroorganisme yang berperan dalam proses penyaringan air tadi.

Ide Wiratni ini tercetus sebagai reaksinya atas volume air bersih di dunia yang semakin menipis. Kondisi tersebut, menurutnya, disebabkan jumlah mikroorganisme penyaring air tadi semakin berkurang, sebaliknya jumlah limbah di lautan semakin banyak.

Bahkan, sudah ada penelitian yang memprediksi delapan puluh tahun lagi semua ikan di lautan akan mati karena keracunan. Wiratni kemudian memikirkan sebuah cara untuk sebisa mungkin menunda bencana alam itu.

Lalu, akhirnya terpikirlah pembuatan teknologi tadi. Alasan pemilihan bakteri anaerob oleh Wiratni disebabkan mikroorganisme jenis itu tidak membutuhkan oksigen untuk dapat hidup.

Dengan demikian, biaya yang diperlukan tidak terlalu banyak. “Intinya hanya menjaga bakteri tersebut tidak terkontaminasi oksigen sehingga mereka bisa berkembang biak dengan lancar,” jelasnya.

Selain untuk menunda bencana tadi, Wiratni sendiri memang selalu berpikiran agar ilmu pengetahuan bisa berguna untuk kemaslahatan seluruh manusia di dunia.

Ia selalu mengingat salah satu perkataan dari Louise Pasteur tentang ilmu pengetahuan. Kutipan tersebut yakni, “Science knows no country, because knowledge belongs to humanity, and is the torch which illuminates the world.”

Oleh karena itu, Wiratni memegang konsep Science Journalism. Inti dari pandangan itu adalah bagaimana ilmu pengetahuan bisa tersampaikan kepada publik dengan jelas.

Wiratni melihat selama ini para ilmuwan selalu menjadi komunitas elit dengan bahasa yang hanya dapat dipahami sejawat mereka sendiri.

Para ilmuwan tidak mampu membahasakan ilmu pengetahuan dengan sederhana kepada masyarakat non-ilmuwan sehingga pesan yang dibawa tidak tersampaikan.

Hal itu, menurutnya, karena bahasa yang digunakan masih menggunakan istilah-istilah keilmuan yang tidak dipahami publik pada umumnya.

Akibatnya, manfaat dari ilmu yang ilmuwan tadi miliki hanya bisa dinikmati sendiri.

Ilmu pengetahuan demikian tidaklah sesuai dengan impian dari Wiratni. Ia bermimpi tentang suatu masa ketika ilmu pengetahuan bisa menjadi bahasa universal bagi manusia.

Ibarat mata uang sebagai satuan yang dipahami secara sama oleh tiap orang, ia berharap ilmu pengetahuan juga bisa seperti itu.

Wiratni menjabarkan, ketika semua orang paham ilmu pengetahuan secara menyeluruh, maka segala kesalahan informasi dan perilaku akan berkurang drastis.

Hal itu karena setiap orang memiliki pemahaman sama terhadap setiap proses yang terjadi di dunia.

Contoh yang mudah, Wiratni tunjukkan pada perkuliahan di sekitarnya. Mahasiswa sekarang kebanyakan sudah menggenggam informasi di tangannya, yakni dengan smarthphone.

Hal itu berbeda dengan dosen, terutama yang golongan tua, yang terbiasa dididik secara analog.

“Dosen yang tidak memahami konteks zaman maka masih akan meminta mahasiswanya untuk menghafal serta mencatat segala materi yang diberikan. Sebaliknya, dosen yang memahami konteks zaman maka akan lebih mengarahkan mahasiswa ke aspek praktis dari ilmu pengetahuan itu serta prospek yang dapat ia penuhi ke depannya,” terang Wiratni.

Ia melanjutkan bahwa UGM merupakan salah satu universitas yang sudah menerapkan prinsip Science Journalism. Proses komunikasi dengan publik, menurut Wiratni, sudah banyak UGM laksanakan.

Ia mencontohkan program Kuliah Kerja Nyata yang dilaksanakan tiap tahun. “Intinya adalah ilmu pengetahuan bisa dinikmati masyarakat pada umumnya,” tutup Wiratni dosen UGM ini.

BACA SELANJUTNYA

Pakar UGM: Tanah Virtual Metaverse Menjanjikan untuk Investasi Masa Depan