Sabtu, 20 April 2024
Agung Pratnyawan | Amelia Prisilia : Rabu, 04 September 2019 | 10:00 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Pada 22 Desember 2018 lalu, tsunami di Selat Sunda membuat duka bagi Indonesia. Baru-baru ini, sebuah penelitian Gunung Anak Krakatau dilakukan untuk mengungkap penyebab tsunami dahsyat tersebut.

Tsunami di Selat Sunda tahun 2018 lalu ini dianggap sebagai momen musibah yang terlepas dari pantauan pihak penanggulangan bencana.

Pasalnya, tanpa ada gempa besar yang bisa menjadi pendeteksi, tsunami besar menghantam beberapa wilayah pesisir seperti Banten dan Lampung.

Belakangan baru diketahui bahwa penyebab tsunami di Selat Sunda tahun 2018 ini adalah runtuhnya lereng Gunung Anak Krakatau.

Selang beberapa bulan, seorang peneliti dari University of Hull, Inggris bernama Rebecca Williams bersama rekan-rekannya membuat penelitiannya.

Dilansir dari Science Daily, penelitian ini dilakukan dengan menganalisa runtuhnya gunung berapi setinggi 230 meter tersebut.

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab tsunami di Selat Sunda.

Citra satelit Gunung Anak Krakatau. (Rebecca Williams)

Dengan menggunakan metode penginderaan jauh atau citra satelit, proses runtuhnya lereng Gunung Anak Krakatau ini dapat dilihat secara detail untuk kemudian diteliti.

Hasilnya, Rebecca Williams dan tim berhasil menemukan bahwa bencana tsunami di Selat Sunda tahun 2018 ini terjadi karena runtuhan yang berkapasitas kecil. Diketahui sebelum runtuh, terjadi letusan di Gunung Anak Krakatau.

Sebelum akhirnya runtuh dan menyebabkan tsunami di Selat Sunda tahun 2018 lalu, Gunung Anak Krakatau rupanya dalam keadaan erupsi yang normal.

Walaupun bersifat normal, saat lereng Gunung Anak Krakatau ini runtuh, letusan gunung yang dihasilkan menjadi eksplosif.

Ilustrasi gunung meletus. (pixabay/tiburi)

Diduga kuat jika runtuhnya lereng ini membuat air laut masuk ke dalam sistem Gunung Anak Krakatau dan membuat letusan-letusan berubah menjadi tipe freatomagmatik yang merupakan jenis letusan yang eksplosif.

Letusan dengan sifat eksplosif ini lalu menghancurkan puncak Gunung Anak Krakatau dan meruntuhkannya.

Kesimpulan penelitian ini lalu menjelaskan bahwa tsunami di Selat Sunda tahun 2018 terjadi akibat runtuhan kecil yang memicu rentetan letusan yang lebih besar hingga menimbulkan tsunami.

Sebelumnya, pada Desember 2018 lalu, terjadi tsunami di Selat Sunda yang mengakibatkan kurang dari 430 nyawa melayang.

BACA SELANJUTNYA

Gunung Anak Krakatau Erupsi, Tinggi Kolom Abu 500 Meter dari Puncak