Kamis, 25 April 2024
Agung Pratnyawan : Kamis, 01 Oktober 2020 | 06:30 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Bakteri memiliki fisik yang lebih rumit dari manusia, tanpa mulut dan paru-paru namun tetap bisa bernapas. Yakni genus bakteri Geobacter.

Geobacter, genus bakteri yang ada di air tanah menelan sampah organik dan "menghembuskan" elektron, menghasilkan arus listrik kecil dalam prosesnya.

Elektron limbah tersebut biasanya selalu pergi ke mineral bawah tanah yang berlimpah, seperti oksida besi.

"Geobacter bernapas melalui sebuah snorkel raksasa yang ukurannya ratusan kali dari tubuhnya," kata Nikhil Malvankar, asisten profesor di Microbial Science Institute Yale University, seperti dikutip Science Alert, Selasa (29/9/2020).

Snorkel itu disebut kawat nano. Meskipun filamen kecil dan konduktif ini 100.000 kali lebih kecil dari lebar rambut manusia, filamen ini mampu memindahkan elektron ratusan hingga ribuan kali panjang tubuh mikroba Geobacker.

Berkat adaptasi ini, Geobacter memiliki respirator paling mengesankan di Bumi. Pada waktu tertentu, miliaran bakteri berdengung dengan listrik di bawah dasar laut.

Sekarang, dalam penelitian baru yang diterbitkan pada 17 Agustus di jurnal Nature Chemical Biology, Malvankar dan timnya telah menemukan cara menggabungkan energi itu menjadi jaringan listrik mikroba yang kuat. 

Geobacter. [Wikipedia]

Dengan menggunakan teknik mikroskop tingkat lanjut, para ilmuwan telah menemukan "molekul rahasia" yang memungkinkan Geobacter bernapas dalam jarak yang sangat jauh.

Tim ahli juga menemukan bahwa dengan merangsang koloni Geobacter dengan medan listrik, mikroba menghantarkan listrik 1.000 kali lebih efisien daripada yang dilakukan di lingkungan alami. 

Menurut para ahli, memahami adaptasi listrik bawaan ini bisa menjadi langkah penting dalam mengubah koloni Geobacter menjadi "baterai bernapas yang hidup".

"Kami yakin penemuan ini dapat digunakan untuk membuat elektronik dari bakteri," tambah Malvankar.

Geobacter dapat bertahan hidup di lingkungan yang keras, yang hanya bisa dilakukan oleh beberapa mikroba lain.

Kawat nano, yang memungkinkan mikroba itu bernapas saat tidak ada oksigen, sangat penting untuk menjaga Geobacter tetap hidup di tanah yang kaya akan oksida besi.

Namun, koloni Geobacter yang tumbuh di laboratorium tidak selalu memiliki kemewahan hidup di dekat mineral yang melimpah. 

Ilustrasi seorang lelaki di laboratorium. [Shutterstock]

Dalam penelitian sebelumnya, Malvankar dan rekannya menemukan bahwa mikroba Geobacter sulfurreducens yang dikembangkan di laboratorium menunjukkan trik bertahan hidup pintar saat terkena elektroda kecil atau piringan yang menghantarkan listrik.

Dirangsang oleh medan listrik, mikroba berkumpul menjadi biofilm padat dan memindahkan elektron melalui satu jaringan bersama.

"Mereka bertumpuk seperti apartemen tingkat tinggi dan mereka semua dapat berbagi jaringan listrik yang sama, terus-menerus membuang elektron," ucap Malvankar.

Temuan ini membuat Malvankar dan rekannya bertanya-tanya bagaimana mikroba mampu menembakkan elektron sampai ke dasar tumpukan.

Lalu keluar lewat kawat nano yang secara efektif menghembuskan elektron pada jarak ribuan kali panjang tubuh mikroba asli.

Jarak seperti itu belum pernah ditemukan dalam respirasi mikroba dan para ahli menekankan betapa uniknya Geobacter dalam hal bertahan hidup di lingkungan yang keras.

Untuk menemukan rahasia kawat nano, penulis penelitian baru menganalisis budaya Geobacter yang dikembangkan di laboratorium menggunakan dua teknik mikroskop mutakhir.

Ilustrasi mikroba (Shutterstock).

Pertama, disebut mikroskop gaya atom resolusi tinggi yang mengumpulkan informasi rinci tentang struktur kawat nano dengan menyentuh permukaannya dengan probe mekanis yang sangat sensitif.

Melalui teknik kedua, yang disebut nanospektroskopi inframerah, para ilmuwan mengidentifikasi molekul tertentu dalam kawat nano berdasarkan cara mikroba menyebarkan cahaya inframerah yang masuk.

Dengan dua metode tersebut, para ahli melihat "sidik jari unik" dari setiap asam amino dalam protein yang membentuk kawat nano.

Para ilmuwan menemukan bahwa, ketika distimulasi oleh medan listrik, Geobacter menghasilkan kawat nano yang sebelumnya tidak diketahui yang terbuat dari protein yang disebut OmcZ.

Protein ini menciptakan kawat nano yang menghantarkan listrik 1.000 kali lebih efisien daripada kawat nano khas yang dibuat Geobacter di tanah, memungkinkan mikroba mengirim elektron melintasi jarak yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Sebelumnya diketahui bahwa bakteri dapat menghasilkan listrik, tetapi tidak ada yang tahu struktur molekulnya. Akhirnya, kami menemukan molekul itu," jelas Malvankar.

Para ahli telah menggunakan koloni Geobacter untuk menyalakan elektronik kecil selama lebih dari satu dekade. Keuntungan besar dari sel bahan bakar mikroba ini adalah umur panjangnya.

Ilustrasi ilmuwan. [Pixabay/felixioncool]

Bakteri dapat memperbaiki dan mereproduksi dirinya sendiri hampir tanpa batas waktu, menciptakan muatan listrik yang kecil tetapi konstan.

Sebagai contoh, dalam satu percobaan Angkatan Laut Amerika Serikat yang dilakukan pada 2008, para ilmuwan menggunakan sel bahan bakar Geobacter untuk menyalakan pelampung cuaca kecil di Sungai Potomac Washington, D.C. selama lebih dari sembilan bulan tanpa menunjukkan tanda-tanda melemah.

Para ilmuwan sekarang tahu bagaimana memanipulasi kawat nano mikroba untuk membuatnya lebih kuat dan lebih konduktif.

Menurut Malvankar, informasi ini dapat membuat produksi bio-elektronik lebih murah dan mudah serta kemungkinan membuat generasi baru baterai bertenaga bakteri yang ramah lingkungan.

Itulah bakteri yang menurut ilmuwan bisa menghembuskan listrik karena molekul khusus. (Suara.com/ Lintang Siltya Utami).

BACA SELANJUTNYA

Biar Mobil Listriknya Memikat, Toyota Mau Bikin Tiruan Transmisi Manual