Selasa, 16 April 2024
Dinar Surya Oktarini : Selasa, 24 Maret 2020 | 16:27 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Membuka data pribadi, termasuk riwayat perjalnan pasien bisa mencegah penularan virus corona, namun hal ini dinilai berpotensi diskriminasi. Kebijakan ini yang menjadi dilema di publik maupun pemerintah. 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai setiap tindakan pemrosesan data pribadi pasien Covid-19, apalagi pembukaannya, harus sesuai dengan prinsip pelindungan data pribadi dan selaras dengan etika medis.

"Dalam konteks prinsip dan regulasi, pelindungan data pribadi, termasuk dalam RUU Pelindungan Data Pribadi, data kesehatan termasuk dalam kategori data sensitif. Pengelolaannya memerlukan mekanisme pelindungan yang lebih hati-hati dengan menjamin akuntabilitasnya," kata Wahyudi Jafar, Direktur Elsam dalam keterangan pers yang diterima Suara.com di Jakarta, Selasa (24/3/2020).

Berdasarkan catatan ELSAM pada 2016, dari 32 undang-undang yang mengatur pelindungan data pribadi, 6 di antaranya berkaitan dengan sektor Kesehatan, termasuk akses data kesehatan. Di antaranya UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Narkotika.

Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan, pengecualian dalam perlindungan data tersebut dapat dilakukan salah satunya demi kepentingan masyarakat. Namun tentunya harus memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas.

Ilustrasi virus corona. (Pixabay)

"Artinya harus dilakukan secara ketat dan terbatas," ujar dia.

Lebih jauh, kerahasiaan rekam medik pasien diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, yang mewajibkan seluruh penyelenggara layanan kesehatan untuk menjaga kerahasiaan rekam medis pasien.

Dalam Pasal 10 (2) dikatakan bahwa membuka riwayat kesehatan dimungkinkan untuk kepentingan kesehatan, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri, dan untuk kepentingan penelitian atau pendidikan sepanjang tidak menyebut identitas pasien.

Oleh karena itu, dalam penanganan Covid-19, setiap praktik pengumpulan data pribadi seseorang, termasuk tracking data lokasi, juga harus dilakukan sesuai dengan prinsip dan hukum pelindungan data pribadi.

Potensi pelanggaran sangat mungkin terjadi dengan implikasi adanya diskriminasi dan ekslusivitas atau pengucilan terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk meningkatkan situasi ketakutan berlebih bagi publik.

Sebagai contoh, dua kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia yang data pribadinya disebarluaskan, justru mengalami diskriminasi dan intimidasi, yang kemudian berdampak pada kondisi mental kedua pasien tersebut.

Belajar dari pengalaman beberapa negara, Singapura misalnya, pemberitaan dan laporan status Covid-19 dari situs resmi yang dikelola pemerintah (www.wuhanvirus.sg), sama sekali tidak membuka identitas pribadi dari pasien positif Covid-19, apalagi yang masih dalam status suspect. Melainkan cukup dengan memberikan nomor bagi pasien, berdasarkan pada nomor urut kasusnya.

Namun dengan alasan kesehatan publik, pembatasan terhadap perlindungan data pribadi ini dimungkinkan untuk dilakukan melalui sejumlah persyaratan. Misalnya ada persetujuan yang jelas dari subjek data, dan ditujukan untuk kepentingan vital dari subjek data.

Ilustrasi virus corona. (Shutterstock)

"Selain itu tindakan yang dilakukan juga harus diperbolehkan oleh hukum, dan memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas," terangnya.

Wahyudi menambahkan, praktik dari negara yang memiliki hukum perlindungan data pribadi yang kuat, meskipun situs Covid-19 menampilkan secara lengkap rekam jejak aktivitas dan daerah (lokasi) yang dikunjungi oleh pasien positif, namun tak membuka identitas pribadi pasien.

Pilihan ini dilakukan guna memastikan tidak adanya identifikasi dan profiling terhadap pasien, tetapi hak publik atas kesehatan publik juga tetap dipenuhi, dengan adanya kejelasan mengenai lokasi yang pernah dikunjungi pasien dalam rentang waktu tertentu, misalnya 14 hari.

Tindakan yang juga dikenal sebagai Contact Tracing ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada publik yang berpotensi kontak langsung dengan pasien, sehingga mereka dapat melaporkan ke rumah sakit/institusi kesehatan rujukan apabila mengalami gejala infeksi.

"Data pribadi yang telah dikumpulkan hanya dapat digunakan secara terbatas untuk penanggulangan Covid-19, tidak boleh digunakan untuk tujuan lainnya," tandasnya.

Catatan Redaksi: Jika Anda merasakan gejala batuk-batuk, demam, dan lainnya serta ingin mengetahui informasi yang benar soal virus corona Covid-19, sila hubungi Hotline Kemenkes 021-5210411 atau kontak ke nomor 081212123119.(Suara.com/Erick Tanjung)

BACA SELANJUTNYA

Hacker Klaim Berhasil Curi Data 400 Juta Akun Twitter