Rabu, 24 April 2024
Dinar Surya Oktarini : Jum'at, 22 Mei 2020 | 11:46 WIB

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting dan informasi menarik lainnya.

Hitekno.com - Mengaku telah mengantongi sebanyak 2,3 juta data WNI, seorang hacker mengaku memperoleh dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Meski belum dipastikan kepastian kabar tersebut, pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya menilai bahwa kasus kebocoran data seperti ini sering terjadi di dunia dan tak pandang bulu.

"Sebenarnya kebocoran data memangsering terjadi dan bukan di Indonesia saja. Kalau diperhatikan di situs-situs penjualan data, hal ini sering terjadi," terang Alfons ketika dihubungi Suara.com, Jumat (22/5/2020).

Menurutnya, frekuensi jual beli data di pasar gelap internet adalah sebuah komoditas vital di era digital seperti sekarang ini.

"Data bocor karena secara de facto data sudah menjadi new oil atau komoditas penting di masa digital ini, sehingga banyak orang yang berkepentingan dengan data dan jika bisa di olah dengan baik akan menghasilkan keuntungan luar biasa," imbuhnya.

Kebocoran data KPU. [Twitter]

Berkaca dari banyaknya kasus peretasan data sekarang ini, Alfons menambahkan bahwa seharusnya situasi ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak.

"Harus diakui bahwa semua pihak, baik pemerintah maupun pihak swasta perlu belajar banyak bagaimana mengelola dan melindungi data dengan baik. Kita jujur saja, dan kalau ada kesalahan tidak perlu saling menuding tetapi kita pelajari kesalahan itu dan belajar dari kesalahan. Lalu mencari cara bagaimana supaya kesalahan itu tidak terulang. Kalau hal ini dilakukan dengan konsisten, lama kelamaan kita akan makin baik dalam mengelola dan melindungi data," ujarnya.

PR Besar

Di sisi lain, peretasan data di lembaga pemerintah menjadi bukti bahwa keamanan siber di Tanah Air masih rendah.

"Kalau dibandingkan dengan beberapa negara maju, memang Indonesia lebih lemah, tetapi hal ini harusnya menjadi cambuk untuk terus belajar dan memperbaiki diri," kata Alfons.

Kebocoran data KPU. [Twitter]

Ironisnya, kelemahan itu dinilai Alfons bukan berasal dari teknologi siber yang dimiliki Indonesia, melainkan dari sikap masyarakatnya sendiri.

"Tidak, bukan teknologi yang tertinggal. Kesadaran akan pentingnya data dan kedisiplinan untuk mengelola data dengan baik itu yang perlu ditanamkan. Pendidikan digital dan kesadaran atas pentingnya pengamanan data/aset digital harus ditanamkan sejak awal," terang Alfons.

"Peningkatan kemampuan SDM dalam pengelolaan data dan kesadaran akan pentingnya nilai data itu yang menjadi PR yang besar," tutup pengamat sekuriti dari Vaksincom tersebut.(Suara.com/Tivan Rahmat)

BACA SELANJUTNYA

Ancaman Siber, Pakar Temukan Aplikasi Berbahaya Google Play Dijual di Darknet